Bab 2:
Sumba
Pantai Rua, Sumba Barat: Tempat Pembantaian
Sekitar 100 m di sebelah
kanan dermaga di Pantai Rua terdapat tempat pembantaian gelombang kedua di
Sumba Barat pada bulan September 1966. Mata para korban (13 laki-laki) diikat
dengan kain hitam, demikian pula tangannya diikat ke belakang. Mereka berdiri
menghadap laut, lalu ditembak dari belakang. Setelah semuanya dipastikan sudah
tidak bernyawa, setiap jenasah dimasukkan ke dalam karung disertai batu besar.
Kemudian dengan perahu dibawa ke tengah laut dan ditenggelamkan. Pantai Rua
adalah pantai laut terdekat Kota Waikabubak, sekitar 20-an kilometer ke arah
selatan; dapat ditempuh dengan mobil dalam waktu +30 menit.
Kira-kira 6 kilometer dari
Waikabubak, kita akan melewati jalan curam dengan tikungan tajam sepanjang 1
kilometer. Kiri jalan tebing dan kanannya jurang dalam sekitar 100 m. Tempat
ini bernama Lapale, tempat yang sangat dikenal orang Sumba Barat.
Pantai Rua cukup terbuka
menghadap lautan Hindia. Laut Rua juga terkenal sebagai laut ganas karena
gelombang yang cukup tinggi, tetapi ini sangat bagus untuk olah raga selancar.
Karena itu sejak pertengahan tahun 1990 telah dibangun Hotel Nihi Watu, hotel
berbintang yang bertaraf internasional. Juga dibangun dermaga agar kapal-kapal
wisatawan dan kapal-kapal pesiar bisa berlabuh di situ. Pantai ini juga biasa
dikunjungi masyarakat Sumba Barat, terutama dari Waikabubak, untuk berekreasi.
Pernyataan Salah Satu
Anggota Tim Sumba
KORBAN TRAGEDI 1965
SEBAGAI ORANG BERDOSA?
Yetty Leyloh
Pengantar
Saya sendiri mengetahui cerita Tragedi 1965 dari pelajaran sejarah di sekolah. Dalam pelajaran sejarah diceritakan betapa sadisnya PKI dan semua gerakan/organisasi yang berhubungan dengan PKI. Semua cerita mengenai keganasan PKI dan Gerwani digambarkan dalam film “Penumpasan Penghianatan G30S/PKI” yang semua
anak sekolah diwajibkan menonton oleh pemerintah. Ketika tumbangnya Orde Baru di negeri ini barulah orang mulai dengan sedikit lebih bebas untuk meneliti dan berupaya mengungkapkan apa sebenarnya yang terjadi ketika itu.
Saya mempunyai sepotong memori tentang situasi yang terjadi ketika para korban dipenjarakan dan dibunuh. Ketika itu usia saya lima tahun. Rumah kami tepat di samping penjara Waikabubak, sehingga dengan mudah kami mengetahui apa yang terjadi ketika itu. Yang masih saya ingat sampai hari ini adalah situasi ibadah menjelang para korban dibunuh; mungkin waktunya adalah pembunuhan gelombang kedua di Rua
(pantai selatan) pada September
1966. Satu lagu rohani yang terus membekas dalam ingatan saya adalah “KuasaMu Ya Pengasihan”. Kemudian, walaupun saya tidak mengenal secara baik siapa mereka, saya juga melihat bagaimana para korban keluar dari penjara dengan mata diikat kain hitam, lalu dinaikkan di mobil truk, terus membekas sampai hari ini.
Di Waikabubak, Ibu Kota Kabupaten Sumba Barat, saya mendapatkan cerita dua orang ibu sebagai narasumber kunci. Ternyata di Sumba Barat korban perempuan sangat sedikit. Sejauh ditemukan oleh tim, yang dituduh Gerwani cuma satu orang, yakni Mama Nel, etnis Sumba, suku Laura yang menikah dengan seorang bapak dari etnis Sabu. Kemudian anak perempuannya,
Ibu Bunga, yang dianggap etnis Sabu seperti bapaknya, juga sempat ditahan di penjara selama dua malam. Beliau adalah isteri Bapak Ama yang juga ditahan karena terlibat dalam serikat buruh salah satu dinas pemerintah. Ibu Bunga berjuang keras untuk mendapatkan keadilan selama suaminya di penjara. Narasumber kunci kedua adalah
Ibu Ina, isteri seorang pegawai negeri bernama Bapak Angga. Bapak Angga dituduh
sebagai PKI, ditangkap dan ditahan selama satu tahun empat bulan, dan nyaris
dibunuh padahal ia bukan anggota PKI ataupun organisasi terkait.
Dua korban tersebut menggambarkan dua
golongan korban Tragedi ’65. Keluarga Ibu Bunga adalah korban akibat
keterlibatan anggota keluarga di dalam PKI/Gerwani atau dalam organisasi yang
dianggap terkait, sedangkan suami Ibu Ina adalah korban tuduhan yang tidak
terbukti. Secara statistik, harus diakui bahwa hanya dua narasumber tidak
mungkin mewakili semua korban Tragedi ’65 di Sumba Barat. Namun pengalaman
mereka tetap harus dihargai, antara lain sebagai pintu masuk untuk memaknai Tragedi
’65 dari perspektif korban. Sambil mencari korban perempuan lain di Sumba Barat
yang bersedia bersuara, marilah kita bersama-sama mendengar dan belajar dari
dua narasumber kunci ini.
Profil Wilayah
Ketika Tragedi ’65 terjadi, pulau Sumba terdiri dari dua kabupaten, yakni Sumba Timur dan Sumba Barat. Pada tahun 2006 baru Sumba Barat mekar menjadi tiga kabupaten (dengan pembentukan Sumba Tengah dan Sumba Barat Daya pada 2007) sehingga pulau Sumba sekarang terdiri dari empat kebupaten.
Pada 1965 di Waikabubak telah ada penjara, kantor polisi, kantor kejaksaan, dan kantor pemerintah lainnya. Kota ini juga tempat tinggal para pejabat kabupaten sehingga Kota Waingapu (Sumba Timur) dan Waikabubak menjadi pusat konsentrasi massa dalam penyerangan terhadap “orang-orang PKI” yang kemudian dijebloskan ke penjara.
Pada tahun 1965, penjara terletak tepat di jantung Kota Waikabubak bersebelahan dengan kantor kejaksaan dan sekitar 300 m dari kantor polisi.[1] Kota Waikabubak,
adalah kota yang sangat sepi dan udaranya sangat dingin karena letaknya di lembah. Sering dikatakan Waikabubak adalah “kota dalam kuali/wajan”. Pada waktu itu kendaraan umum belum ada, cuma beberapa kendaraan truk dari orang Tionghoa dan Arab, juga beberapa kendaraan pemerintah. Sehingga penduduk Kota Waikabubak, yang setiap hari ke sekolah, kantor, bahkan ke mana saja, berjalan kaki sekitar dua sampai enam kilometer; itu sudah biasa. Demikian pula dengan listrik yang menerangi Waikabubak, hanya menyala dari jam enam sore sampai jam dua belas malam.
Penduduk Waikabubak bukan saja dari etnis Sumba. Perekonomian didominasi etnis Tionghoa dan Arab. Demikian pula dengan pejabat daerah, seperti Kepala Kejaksaan Negeri (Pak Herman, kemudian tahun 1965 diganti Pak Ahmad yang keduanya dari Sulawesi), Kepala Penjara dari etnis Rote (Pak Nali), Kepala Polisi yang orang Jawa (Pak Sonopati), sedangkan di kehakiman belum ada hakim, yang ada cuma panitera, yakni Umbu Ronggo (hakim hanya berada di Kabupaten Sumba Timur), Bupati dari etnis Sumba (Umbu Tinus), Sekretaris Daerah Pak Taka, Kodim juga belum ada, yang ada yakni Buterpra yang kemudian menjadi Koramil. Demikian pula para guru dan pegawai negeri didominasi etnis Sabu, Rote, dan Ambon sehingga dapat dikatakan kaum “intelektual” dan pemimpin pemerintahan Sumba didominasi kaum pendatang.
Dari segi keagamaan, penduduk Waikabubak menganut agama Kristen Protestan di bawah naungan Gereja Kristen Sumba (selanjutnya disingkat GKS), agama Katolik, Islam, dan sebagian besar ketika itu menganut kepercayaan Marapu (kepecayaan asli Sumba). Pada waktu itu di GKS masih cukup banyak
terdapat para zendeling Belanda yang
melayani sebagai pendeta, pekerja sosial, dokter, dan perawat.
Click link below to continue reading:
Read more Part 1 click here
Read more part 2 click here
Read more Part 3 click here
Read more part 2 click here
Read more Part 3 click here
[1] Sekitar tahun 1985-86 penjara yang baru dibangun dan bertempat di
batas kota arah barat dan yang lama sudah tidak lagi difungsikan sebagai
penjara. Kantor Kejaksaan juga tidak lagi berada di situ sebab telah berpindah
ke lokasi lain
