Translate

Rabu, 17 April 2013

MEMORI-MEMORI TERLARANG, KORBAN TRAGEDI 1965 DI SUMBA SEBAGAI ORANG BERDOSA?



Bab 2: Sumba 




Pantai Rua, Sumba Barat: Tempat Pembantaian


Sekitar 100 m di sebelah kanan dermaga di Pantai Rua terdapat tempat pembantaian gelombang kedua di Sumba Barat pada bulan September 1966. Mata para korban (13 laki-laki) diikat dengan kain hitam, demikian pula tangannya diikat ke belakang. Mereka berdiri menghadap laut, lalu ditembak dari belakang. Setelah semuanya dipastikan sudah tidak bernyawa, setiap jenasah dimasukkan ke dalam karung disertai batu besar. Kemudian dengan perahu dibawa ke tengah laut dan ditenggelamkan. Pantai Rua adalah pantai laut terdekat Kota Waikabubak, sekitar 20-an kilometer ke arah selatan; dapat ditempuh dengan mobil dalam waktu +30 menit.





Kira-kira 6 kilometer dari Waikabubak, kita akan melewati jalan curam dengan tikungan tajam sepanjang 1 kilometer. Kiri jalan tebing dan kanannya jurang dalam sekitar 100 m. Tempat ini bernama Lapale, tempat yang sangat dikenal orang Sumba Barat.



Pantai Rua cukup terbuka menghadap lautan Hindia. Laut Rua juga terkenal sebagai laut ganas karena gelombang yang cukup tinggi, tetapi ini sangat bagus untuk olah raga selancar. Karena itu sejak pertengahan tahun 1990 telah dibangun Hotel Nihi Watu, hotel berbintang yang bertaraf internasional. Juga dibangun dermaga agar kapal-kapal wisatawan dan kapal-kapal pesiar bisa berlabuh di situ. Pantai ini juga biasa dikunjungi masyarakat Sumba Barat, terutama dari Waikabubak, untuk berekreasi.



Pernyataan Salah Satu Anggota Tim Sumba




KORBAN TRAGEDI 1965

SEBAGAI ORANG BERDOSA?

Yetty Leyloh

Pengantar

Saya sendiri mengetahui cerita Tragedi 1965 dari pelajaran sejarah di sekolah. Dalam pelajaran sejarah diceritakan betapa sadisnya PKI dan semua gerakan/organisasi yang berhubungan dengan PKI. Semua cerita mengenai keganasan PKI dan Gerwani digambarkan dalam filmPenumpasan Penghianatan G30S/PKIyang semua anak sekolah diwajibkan menonton oleh pemerintah. Ketika tumbangnya Orde Baru di negeri ini barulah orang mulai dengan sedikit lebih bebas untuk meneliti dan berupaya mengungkapkan apa sebenarnya yang terjadi ketika itu.



Saya mempunyai sepotong memori tentang situasi yang terjadi ketika para korban dipenjarakan dan dibunuh. Ketika itu usia saya lima tahun. Rumah kami tepat di samping penjara Waikabubak, sehingga dengan mudah kami mengetahui apa yang terjadi ketika itu. Yang masih saya ingat sampai hari ini adalah situasi ibadah menjelang para korban dibunuh; mungkin waktunya adalah pembunuhan gelombang kedua di Rua (pantai selatan) pada September 1966. Satu lagu rohani yang terus membekas dalam ingatan saya adalahKuasaMu Ya Pengasihan”. Kemudian, walaupun saya tidak mengenal secara baik siapa mereka, saya juga melihat bagaimana para korban keluar dari penjara dengan mata diikat kain hitam, lalu dinaikkan di mobil truk, terus membekas sampai hari ini.



Di Waikabubak, Ibu Kota Kabupaten Sumba Barat, saya mendapatkan cerita dua orang ibu sebagai narasumber kunci. Ternyata di Sumba Barat korban perempuan sangat sedikit. Sejauh ditemukan oleh tim, yang dituduh Gerwani cuma satu orang, yakni Mama Nel, etnis Sumba, suku Laura yang menikah dengan seorang bapak dari etnis Sabu. Kemudian anak perempuannya, Ibu Bunga, yang dianggap etnis Sabu seperti bapaknya, juga sempat ditahan di penjara selama dua malam. Beliau adalah isteri Bapak Ama yang juga ditahan karena terlibat dalam serikat buruh salah satu dinas pemerintah. Ibu Bunga berjuang keras untuk mendapatkan keadilan selama suaminya di penjara. Narasumber kunci kedua adalah Ibu Ina, isteri seorang pegawai negeri bernama Bapak Angga. Bapak Angga dituduh sebagai PKI, ditangkap dan ditahan selama satu tahun empat bulan, dan nyaris dibunuh padahal ia bukan anggota PKI ataupun organisasi terkait. 



Dua korban tersebut menggambarkan dua golongan korban Tragedi ’65. Keluarga Ibu Bunga adalah korban akibat keterlibatan anggota keluarga di dalam PKI/Gerwani atau dalam organisasi yang dianggap terkait, sedangkan suami Ibu Ina adalah korban tuduhan yang tidak terbukti. Secara statistik, harus diakui bahwa hanya dua narasumber tidak mungkin mewakili semua korban Tragedi ’65 di Sumba Barat. Namun pengalaman mereka tetap harus dihargai, antara lain sebagai pintu masuk untuk memaknai Tragedi ’65 dari perspektif korban. Sambil mencari korban perempuan lain di Sumba Barat yang bersedia bersuara, marilah kita bersama-sama mendengar dan belajar dari dua narasumber kunci ini.


Profil Wilayah

Ketika Tragedi ’65 terjadi, pulau Sumba terdiri dari dua kabupaten, yakni Sumba Timur dan Sumba Barat. Pada tahun 2006 baru Sumba Barat mekar menjadi tiga kabupaten (dengan pembentukan Sumba Tengah dan Sumba Barat Daya pada 2007) sehingga pulau Sumba sekarang terdiri dari empat kebupaten.



Pada 1965 di Waikabubak telah ada penjara, kantor polisi, kantor kejaksaan, dan kantor pemerintah lainnya. Kota ini juga tempat tinggal para pejabat kabupaten sehingga Kota Waingapu (Sumba Timur) dan Waikabubak menjadi pusat konsentrasi massa dalam penyerangan terhadaporang-orang PKIyang kemudian dijebloskan ke penjara.



Pada tahun 1965, penjara terletak tepat di jantung Kota Waikabubak bersebelahan dengan kantor kejaksaan dan sekitar 300 m dari kantor polisi.[1] Kota Waikabubak, adalah kota yang sangat sepi dan udaranya sangat dingin karena letaknya di lembah. Sering dikatakan Waikabubak  adalahkota dalam kuali/wajan”. Pada waktu itu kendaraan umum belum ada, cuma beberapa kendaraan truk dari orang Tionghoa dan Arab, juga beberapa kendaraan pemerintah. Sehingga penduduk Kota Waikabubak, yang setiap hari ke sekolah, kantor, bahkan ke mana saja, berjalan kaki sekitar dua sampai enam kilometer; itu sudah biasa. Demikian pula dengan listrik yang menerangi Waikabubak, hanya menyala dari jam enam sore sampai jam dua belas malam.



Penduduk Waikabubak bukan saja dari etnis Sumba. Perekonomian didominasi etnis Tionghoa dan Arab. Demikian pula dengan pejabat daerah, seperti Kepala Kejaksaan Negeri (Pak Herman, kemudian tahun 1965 diganti Pak Ahmad yang keduanya dari Sulawesi), Kepala Penjara dari etnis Rote (Pak Nali), Kepala Polisi yang orang Jawa (Pak Sonopati), sedangkan di kehakiman belum ada hakim, yang ada cuma panitera, yakni Umbu Ronggo (hakim hanya berada di Kabupaten Sumba Timur), Bupati dari etnis Sumba (Umbu Tinus), Sekretaris Daerah Pak Taka, Kodim juga belum ada, yang ada yakni Buterpra yang kemudian menjadi Koramil. Demikian pula para guru dan pegawai negeri didominasi etnis Sabu, Rote, dan Ambon sehingga dapat dikatakan kaumintelektualdan pemimpin pemerintahan Sumba didominasi kaum pendatang.



Dari segi keagamaan, penduduk Waikabubak menganut agama Kristen Protestan di bawah naungan Gereja Kristen Sumba (selanjutnya disingkat GKS), agama Katolik, Islam, dan sebagian besar ketika itu menganut kepercayaan Marapu (kepecayaan asli Sumba). Pada waktu itu di GKS masih cukup banyak terdapat para zendeling Belanda yang melayani sebagai pendeta, pekerja sosial, dokter, dan perawat.


Click  link below to continue reading: 
Read more Part 1 click here 
Read more part 2 click here 
Read more Part 3 click here



[1] Sekitar tahun 1985-86 penjara yang baru dibangun dan bertempat di batas kota arah barat dan yang lama sudah tidak lagi difungsikan sebagai penjara. Kantor Kejaksaan juga tidak lagi berada di situ sebab telah berpindah ke lokasi lain